Rolling Stone Magz: Musik Terbaik 2013

Sabtu, 29 Maret 2014 | komentar

Semua musik yang dikonsumsi sepanjang 2013 dan menurut saya terbaik sesuai selera pribadi.

Oleh: Wendi Putranto
Album Detourn - The S.I.G.I.T
Jakarta - 2013 baru saja berlalu beberapa hari yang lalu. Diluar mitosnya sebagai tahun yang memuat angka sial namun yang terjadi justru sebaliknya. Indonesia mesti berterima kasih karena ditengah kondisi babak-belur-hancur-leburnya bisnis di industri musik belakangan ini, sederet talenta musik terbaik Tanah Air mampu merilis karya-karya terbaik mereka di tahun lalu. Di antaranya adalah album-album dari The SIGIT, Frau, White Shoes & The Couples Company, Yacko, Gugun Blues Shelter, Adrian Adioetomo, hingga Morfem.

Daftar di bawah ini adalah semua yang saya konsumsi sepanjang 2013 dan menurut saya terbaik sesuai gairah, minat, selera, persepsi, apresiasi dan penilaian pribadi yang kemudian dengan sok tahunya saya urutkan sesuai ranking. Memang tak semua yang saya simak, baca atau saksikan sepanjang tahun lalu berhasil masuk ke dalam daftar ini, tentunya karena berbagai pertimbangan tersebut di atas.

Tentu tak semua dalam daftar ini datang dari dalam negeri, sederet musik dan pemusik Barat dalam format fisik, digital, tekstual, audio, visual juga telah menjadi bagian dari pekerjaan, perjalanan sekaligus hiburan yang menyenangkan bagi saya sepanjang dua belas bulan lamanya.

Tak perlu murka jika tidak menemukan album terbaik dari musisi idola Anda disini, silakan beritahu apa saja rilisan yang dengan cerobohnya telah saya lewatkan via kanal komentar di bawah ini. Intinya semua ini hanya karena ingin berbagi.....

And if you don’t like it, please fuck off! :-)

The Best Indonesian Albums of 2013:
  1. The SIGIT - Detourn
  2. Frau - Happy Coda
  3. White Shoes & The Couples Company – Menyanyikan Lagu2 Daerah
  4. Navicula – Love Bomb
  5. Yacko – The Experiment
  6. Morfem - Hey, Makan Tuh Gitar
  7. Adrian Adioetomo – Karat & Arang
  8. Gugun Blues Shelter – Soul Shaker
  9. Leonardo & His Impeccable Six – Mirrors
  10. The Experience Brothers – From The Deepest Growl

Favorite Indonesian Tracks of 2013:
  1. “Tam Tam Buku” – White Shoes & The Couples Company
  2. “Aku Bukan Mesin” – Navicula (on Love Bomb)
  3. “Gate of 15th” – The SIGIT
  4. “Liturgi Penyesatan” – Down For Life
  5. “Hit the Road Jack” – Leonardo & His Impeccable Six
  6. “Tarian Sari” – Frau
  7. “Intoksifikasi Imajinasi” – Funeral Inception
  8. “Sound of Revolution” – Yacko Feat. Heruwa
  9. “Ekstrimis” – Inlander
  10. “Love Your Life” – Gugun Blues Shelter
  11. “Hey Tuan Botimen” – Morfem
  12. “These Simple Notices” – CJ
  13. “Viva Rimau! Rimau! – ((Auman))
  14. “Lidah Api Menari” – Adrian Adioetomo
  15. “Trendsetter Teknologi” – Biang Kerock 


The Best Western Albums of 2013:
  1. David Bowie – The Next Day
  2. Black Sabbath – 13
  3. Paul McCartney – New
  4. Arcade Fire – Reflektor
  5. Ghost – Infestissumam
  6. Nick Cave and The Bad Seeds – Push the Sky Away
  7. Vampire Weekend – Modern Vampires of the City
  8. Pearl Jam – Lightning Bolt
  9. Daft Punk – Random Access Memories
  10. Queens of the Stone Age - …Like Clockwork


Favorite Western Tracks of 2013:
  1. “The Stars (Are Out Tonight)” – David Bowie
  2. “God Is Dead” – Black Sabbath
  3. “New” – Paul McCartney
  4. “Normal Person” – Arcade Fire
  5. “Year Zero” – Ghost
  6. “Wide Lovely Eyes” – Nick Cave and the Bad Seeds
  7. “Finger Back” – Vampire Weekend
  8. “Lightning Bolt” – Pearl Jam
  9. "Get Lucky” – Daft Punk
  10. “If I Had A Tail” – Queens of the Stone Age


The Best Western Metal/Punk/Hardcore Album of 2013:
  1. Carcass – Surgical Steel
  2. Death Angel – The Dream Calls For Blood
  3. Motorhead – Aftershock
  4. Gorguts – Colored Sands
  5. Bad Religion – True North


The Best Indonesian Metal/Punk/Hardcore Albums of 2013:
  1. Funeral Inception - In Praise of Devastation
  2. Deadsquad - Profanatik
  3. ((Auman)) - Suar Marabahaya
  4. Biang Kerock – Empiris Hiperealistis
  5. Down For Life - Himne Perang Akhir Pekan
  6. Inlander - Ultimatum
  7. 7 Deadly Sins – Stomping Stomping ‘99
  8. SSSLOTHHH - Phenomenon
  9. Gugat – Family Values
  10. Umbra Mortis – 7th Dimension of Upheaval


Honorable Mentions:
  1. Lala Karmela – Between Us
  2. Pestolaer – Birth School Indie Rock Death
  3. Trendy Reject – Punkthropus Rockerous
  4. Octopus – Part II
  5. Nocturnal Kudeta – Insurecto(s)
  6. Terapi Urine – Kehiduvan Yang Vhana Ini
  7. Good Morning Alice
  8. Pistolblast – Logika Purba
  9. Straightout – Nocturnal Born Vehemence
  10. Trendkill Cowboys Rebellion – Siapa Suruh Datang Jakarta


The Best Indonesian Album Covers of 2013:
  1. Love Bomb - Navicula
  2. Himne Perang Akhir Pekan – Down For Life
  3. Suar Marabahaya - ((Auman))
  4. Detourn – The SIGIT
  5. Empiris Hiperealistis – Biang Kerock


The Best Music Festivals of 2013:
  1. Hammersonic Festival 2013
  2. Kukar Rockin' Fest 2013
  3. Rock In Solo 2013
  4. Rock In Celebes 2013
  5. Timbre Rock & Roots Festival 2013


The Best Western Concerts of 2013:
  1. Metallica live at Gelora Bung Karno Stadium, Jakarta
  2. Metallica live at Changi Expo, Singapore
  3. Robert Plant Presents Sensational Space Shifters live at Timbre Rock & Roots Festival 2013, Fort Canning, Singapore
  4. Jimmy Cliff live at Timbre Rock & Roots Festival 2013, Fort Canning, Singapore
  5. Paul Simon live at Timbre Rock & Roots Festival 2013, Fort Canning. Singapore
  6. Bloc Party live at Tennis Indoor Senayan, Jakarta
  7. Suicidal Tendencies live at Java Rockin’land 2013
  8. Joss Stone live at Java Jazz Festival 2013


The Best Indonesian Concerts of 2013:
  1. Melancholic Bitch live at @america, Jakarta
  2. The Box live at Hard Rock Rising 2013, Bali
  3. Sandhy Sondoro live at Hard Rock Rising 2013, Bali
  4. Trio Lestari Show live at Istora Senayan, Jakarta
  5. The S.I.G.I.T. live at Rock In Celebes 2013, Makassar
  6. Burgerkill live at Istora Senayan, Jakarta
  7. Fariz RM Anthology live at Mepro Concert Hall, Bandung
  8. Konser Tunggal Ari Lasso live at Plennary Hall, JCC, Jakarta
  9. Koil live at Java Rockin’land 2013, Jakarta
  10. Rock ‘N Roll Mafia live at Java Soulnation 2013, Jakarta


The Best Western Music Documentaries/Movies of 2013:
  1. Sound City (Dave Grohl)
  2. Searching For Sugarman (Malik Bendjelloul)
  3. CBGB (Randall Miller)
  4. Good Vibrations (Lisa Barros D’Sa, Glenn Leyburn)
  5. A Band Called Death (Jeff Howlett, Mark Covino)


The Best Indonesian Music Documentaries/Movies:
  1. Burgerkill: We Will Bleed (DVD, Eben)
  2. The Brandals: Marching Menuju Maut (Premiere Screening, Faesal Rizal)
  3. Berdansa Bersama Shaggydog (DVD, EF Tedjo Baskoro)
  4. Rock Bergema: A Story Behind the Rock Anthem (DVD, Renjana Film)
  5. Rock In Solo 2012 – The Return (DVD, The Anarcho Brothers)


The Best Western Music Videos of 2013:
  1. “Like a Rolling Stone” – Bob Dylan (Vania Heymann)
  2. “The Next Day” – David Bowie (Floria Sigismondi)
  3. “Diane Young” – Vampire Weekend (Primo Kahn)
  4. “Afterlife” – Arcade Fire (Emily Kai Bock)
  5. “Year Zero” – Ghost (Amir Chamdin)
  6. “Bruane Brenn” – Kvelertak (Stian Kristiansen)
  7. ”When I Lost My Bet” – Dillinger Escape Plan (Mitch Massie)
  8. “God Is Dead?” – Black Sabbath (Peter Joseph)
  9. “Blow Your Trumpets Gabriel” – Behemoth (Grupa 13)
  10. “Ghost” – dEUS Feat. Jesus Christ (Saman Keshavarz)


The Best Indonesian Music Videos of 2013:
  1. “Under The Scars” – Burgerkill (Edy Khemod)
  2. “Abrasi” – BRNDLS Feat. Morgue Vanguard (Anton Ismael)
  3. “Lidah Api Menari” – Adrian Adioetomo (Anton Ismael)
  4. “Year of the Tiger” – ((Auman)) (Jimmy Budiman)
  5. ”Patriot Moral Prematur” – Deadsquad (Tepan Kobain, Khristo Damar, Stevie Item)


The Best Music Books of 2013:
  1. Autobiography (Morrissey, Penguin Classics)
  2. Rock ‘N Roll Industri Musik Indonesia (Theodore KS, Kompas)
  3. Donny Fattah: 40 Tahun dalam Godbless, bersama Godbless, untuk Godbless (Asriat Ginting, Unifikata)
  4. Ucok AKA: Antara Rock, Wanita & Keruntuhan (Siti Nasyi’ah, Elex Media)
  5. Based On a True Story: Pure Saturday (Idhar Resmadi, 347)
  6. Chambers: Makassar Urban Culture Identity (Anwar Jimpe Rachman, Chambers)


Favorite Music Magazines of 2013:
  1. Rolling Stone Magazine (Issue 102/October 2013)
  2. Decibel Magazine (Issue 100/February 2013)
  3. Rock & Roll Magazine (Issue 01/July 2013)
  4. Warning Magazine (Issue 01/December 2013)
  5. Q Magazine (Issue 321/April 2013)


An Old Album I Discovered/Rediscovered This Year:
  1. Swami II (CD, AIRO, 1989)
  2. Homicide – Godzkilla Necronometry (LP, Grieve, Grimloc, 2013)
  3. Big Audio Dynamite – This Is Big Audio Dynamite (CD, CBS, 1985)
  4. Throbbing Gristle’s Greatest Hits (CD, Mute, 1990)
  5. The Best of Muddy Waters (CD, MCA/Chess, 1987)


Musical Highlights of 2013:
  1. Menyanyi bareng “There Is A Light That Never Goes Out” dari The Smiths dalam sebuah perjalanan kencan yang sangat berkesan dan memberikan sebuah mixtape berisi nomor-nomor asmara terbaik sepanjang masa kepada rekan kerja sekantor yang kemudian berakhir menjadi yang paling terkasih :) 
  2. Menonton konser Metallica di Stadion Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta dan berhasil menyusup ke backstage untuk pertama kalinya dalam seumur hidup (walau akhirnya diusir oleh tim sekuriti mereka yang berbadan segede gajah). Priceless!
  3. Menyaksikan tur konser Metallica di 3 negara bersama teman-teman tercinta dan petualangan ini berakhir menjadi cover story pertama saya dalam 8 tahun bekerja di majalah Rolling Stone.
  4. Ngobrol dan gugup setengah mampus saat bertemu dengan vokalis Led Zeppelin, Robert Plant di Hotel Conrad, Singapura.
  5. Ngobrol (atau mungkin mendapat kuliah pribadi) tentang reggae dan subkulturnya selama lebih kurang satu jam bersama legenda hidup reggae, Jimmy Cliff di Hotel Conrad, Singapura.
  6. Pagi-pagi didatangi idola masa remaja, Mike Muir dari Suicidal Tendencies ke kantor, wawancara selama 2 jam, makan siang bareng dan malamnya BBQ party di Lawless. Priceless!
  7. Ikut bangga saat pertama kali mendengar dari Eben bahwa Burgerkill menang penghargaan musik internasional Golden Gods dari majalah Metal Hammer, Inggris. Selama puluhan tahun mengikuti perkembangan scene metal lokal (termasuk Burgerkill) bahkan tak pernah berani bermimpi ada sebuah band Indonesia yang berhasil hingga sejauh ini, mengharukan.
  8. Menembus Tenggarong, ibukota Kutai Kartanegara di pedalaman Kalimantan Timur yang ternyata menyimpan potensi hulu ledak metal yang berbahaya serta sebuah festival metal internasional gratisan dengan penonton hingga berjumlah sekitar 30.000 orang.
  9. Memberikan PR yang cukup sulit dan nyaris membuat Chris Carrabba (Dashboard Confessional) menitikkan air mata emo-nya di belakang panggung Rock In Celebes 2013, Makassar.


Musical Lowlights of 2013:
  1. Tutupnya Aquarius Mahakam setelah buka selama 26 tahun. Ketika berkunjung di hari terakhir menyaksikan langsung raut wajah yang sedih dari para karyawan disana, tersentuh mendengar cerita ada seorang pelanggan yang membawakan puluhan nasi Padang kotak bagi para karyawan dan nyaris menangis ketika mendengar lagu Phil Collins yang bertajuk “I Can Not Believe It’s True” diputar seharian itu berulang-ulang kali. Such a great loss! :(
  2. Tak pernah menyangka penyakit yang diderita Jeff Hanneman ternyata sangat serius, walau cukup heran mengapa ia sampai absen hingga dua tahun lamanya dari bandnya tercinta. Ketika wafat maka Slayer pun tak akan pernah sama lagi untuk selamanya. On and on South of Heaven...
  3. Pagi-pagi buta mata melek dan membaca Ray Manzarek (The Doors) telah wafat. Keyboardist legendaris yang dulu menjadi teman setia mengarungi malam-malam sunyi penuh kegalauan ketika patah hati.
  4. Tengah malam sedih membaca berita dari RollingStone.com di BlackBerry tentang wafat mendadaknya Lou Reed (Velvet Underground), tak menyangka operasi transplantasi hati yang dialaminya ternyata gagal menyelamatkan dirinya.
  5. Gagalnya konser 40 Tahun Godbless hingga dua kali setelah direncanakan, bahkan setelah digelarnya sebuah konferensi pers tentang konser tersebut. Kemana perginya dukungan bagi mereka?
  6. Tengah berada di Palu, Sulawesi Tengah dan mendengar kabar dari teman-teman disana tentang tewas dengan tragisnya Kebo, Ketua Panitia Lock Stock 2, Yogyakarta. Pernah menyaksikan Festival Lock Stock pertama dan menjadi sangat kagum dengan scene musik Yogyakarta, bisa dibilang scene yang terbaik di Indonesia saat ini. RIP Kebo.
  7. Menyaksikan dengan mata kepala sendiri kacau balaunya penyelenggaraan AMI Awards 2013. Memang setiap tahun selalu terjadi kekacauan namun tahun ini mencapai titik klimaks terendahnya dalam sejarah setelah pihak komite menempatkan album debut TOR (Lorem Ipsum) dalam kategori punk bukan funk. Cilaka13!
  8. Menerima dua tawaran menulis buku musik yang keren namun masih terjebak membagi waktu dengan rutinitas pekerjaan guna memenuhi deadline penyelesaiannya yang super mepet.
  9. Ramai-ramai nonton di teater IMAX film 3D Metallica: Through The Never yang ternyata hanya sebuah film konser biasa dibumbui kisah roadie nan absurd. Gagal memenuhi ekspektasi pribadi.
  10. Usai nonton konser Mew diluar venue mendengar kabar dari teman-teman StageID tentang insiden/teror air keras yang menimpa wajah vokalis Saint Loco, Beery Manoch di Malang, Jawa Timur.
  11. Gusar membaca serial kultwit drummer Superman Is Dead, Jerinx di Twitter yang membawa isyu tak penting tentang musisi daerah versus musisi Jakarta, menawarkan diri untuk berargumentasi namun kemudian ditolaknya dengan halus karena “sedang tidak mood.” 
  12. Berkerumunnya para politisi dan bakal capres di panggung 30 Tahun Slank di Stadion Gelora Bung Karno, Senayan pada 13 Desember 2013. Sebuah momen yang sangat tidak rock and roll….
  13. Diboikot dan hancur leburnya Obscene Extreme Festival 2013 karena alasan yang tolol dan salah, makin menyedihkan ketika berita tentang kehancurannya tersebar luas via media sosial dan majalah metal terkemuka seperti Decibel.
  14. Batalnya konser Aerosmith di Jakarta tanpa alasan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Mungkinkah mereka ternyata hanya sekumpulan lelaki tua pengecut? Mungkin saja. 


Happy 2014, folks! The Year of Living Dangerously! m/m/

link sumber: rollingstone.co.id/read/2014/01/10/194720/2464627/1291/blog-musik-terbaik-2013

Nama Kocak Klub Sepakbola di Indonesia

Selasa, 25 Maret 2014 | komentar


Berikut nama-nama Club Sepak Bola teraneh di Indonesia. Semua nama-nama dibawah ini benar adannya alias bukan rekayasa.

  1. PERSETUBUHAN - Persatuan Sepakbola Tukang Dan Kuli Pelabuhan
  2. PERSEKONGKOLAN - Persatuan Sepakbola Cukong Kolong Jembatan
  3. ASSET BERHARGA - Asosiasi Sepakbola Tanjung Beringin Harapan Keluarga
  4. PERSEMBUNYIAN - Persatuan Sepakbola Masyarakat Kabupaten Banyuwangi Sekalian
  5. PERSEMUR JENGKOLAN - Persatuan Sepakbola Semua Rakyat Jepara Dan Pengkolan
  6. ORGASME PUNCAK - Organisasi Sepakbola Masyarakat Tebet dan Puncak
  7. PERSETAN KALIAN - Persatuan Sepakbola Tanjung Karang Liwa Selatan
  8. PERSENAN DUIT - Persatuan Sepakbola Wilayah Ragunan, Duren dan Pluit
  9. PERSIS MONYET - Persatuan Sepakbola Istora, Monas dan Wilayah Condet
  10. PREMAN PASAR - Persepakbolaan Remaja Denpasar
  11. PERSELINGKUHAN - Persatuan Sepakbola Lingkup Asahan
  12. PERAGAWAN SEKSI - Perkumpulan Olah Raga Warga Nelayan Sekitar Musi
  13. PERSELISIHAN - Persatuan Sepakbola Polisi Kelurahan
  14. PERAWAN - Persepakbolaan Para Warga Nias
  15. PERSEROAN TERBATAS - Persatuan Sepakbola Rombongan Dokter Balita Tasikmalaya


sumber : www.sumbanews.com

Musik adalah kebersamaan

Kamis, 20 Maret 2014 | komentar


Artikel diambil dari situs : gitargila.com
penulis: Andrie Tidie

Musik adalah kebersamaan sebagaimana halnya Kehidupan

Itu sebabnya musik Gitar Classic Tunggal kurang mendapatkan tanggapan di-masyarakat dibandingkan Band karena musik yang dihasilkan secara bersama memiliki kekuatan menyentuh jiwa berkali-kali lipat. Serta menjadi semacam ritual kebersamaan yang melibatkan emosional pemain dan juga penonton.

Kebersamaan adalah kata kunci-nya disini karena pada intinya bermusik itu adalah merayakan kehidupan dan kehidupan itu bukan sendirian. Setiap anggota masyarakat dalam hidup ini sama-sama punya peran, kaya miskin, jelek cakep, kampungan modern, kuno trendy, macho nerdy, etc. Kombinasi itu semualah yang menjadi satu kehidupan ber-masyarakat, mereka-mereka yang merasa hebat sendiri, tampan sendiri, jago sendiri, kaya sendiri, cool sendiri, berkuasa sendiri etc. adalah manusia yang sedang kehilangan esensi kehidupan. Kehilangan itu belum akan terasa sampai waktunya kenyataan berdiri didepan mata dan menunjukkan realitas yang sebenarnya, tapi bagi mereka biasanya itu sudah terlambat, biasanya itu datang saat babak terakhir dari kehancuran.

Banyak yang tidak peduli, tidak mau capek berpikir ataupun berusaha melawan kenyataan dan terus tancap gas dalam Ego-Trip mereka walau mereka sadar bahwa Realitas senantiasa berada disisi mereka dan menghantui setiap detik hari-hari mereka.

Realitas yang berkata pada Axel Rose bahwa eh Bung, diri ente bukan seperti yang ente bayangkan, rambut ente sudah rontok dan botak, ente sudah tidak pernah naik panggung selama 23 tahun, masyarakat sudah memandang remeh pada karir ente yang gak jalan-jalan selama ini. Tapi mengapa ente masih ngotot merasa sebagai seorang Rock Superstar ?

Mengapa hal itu sampai terjadi pada Axel ? karena, he went at it alone, he saw everything as one man job and took credit for all the success he and "the band" had achieved.
Dalam nge-Band, disaat kita mulai merasa bahwa sukses ini adalah akibat dari ke-geniusan kita dan karena faktor Kewl diri sendiri, faktor lagu ciptaan kita, faktor suara melengking kita, ataupun faktor kecepatan nge-shredd Neo-Classic kita, whatever. 

Saat itu-lah kita telah menjadi manusia paling kampungan yang pernah hidup di-dunia, sengaja di-exagerated agar kita mengerti bahwa tidak ada hal dalam hidup yang merupakan prestasi kita semata-wayang, semunya menyangkut orang lain. Menyangkut Mass-Media yang kebetulan sedang fokus pada diri ente, menyangkut Gitaris anda yang kebetulan dapat yang pas bagi musik anda, menyangkut keluarga anda dirumah yang kebetulan memberikan situasi yang mendukung, etc. What the fuck, bahkan menyangkut Gunung Karakatau yang tidak jadi meletus menghancur leburkan kota Jakarta sehingga seluruh Industri Hiburan gulung tikar dan anda gak dapat job lagi. Menyangkut segalanya.

Sebagaimana Jari kita ada lima dan terdiri dari kelingking, jempol, telunjuk etc, begitu juga dalam sebuah Band masing-masing punya job yang tidak tergantikan dalam merayakan kehidupan secara bersama-sama. Jika kita telah menganggap Band kita adalah keluarga maka kita tidak akan secara gampang memiliki perasaan mau menang sendiri, atau jalan sendiri dan merasa diri paling penting, itu kampungan dudes.

Sekedar Info, Seniman punya kelemahan paling kentara, yaitu selalu merasa bahwa karya cipta diri sendiri atau kemampuan diri sendiri adalah yang paling hebat dan karya cipta seniman lain kurang ber-mutu. Harap di-ingat itu adalah kelemahan Seniman yang membuat mereka tidak obyektif dalam menilai diri sendiri, sehingga sering terlalu menganggap tinggi diri sendiri sementara kenyataan berkata lain. Membuat diri mereka berada dalam situasi Tragis, banyak contoh dalam sejarah musik dunia ataupun Indonesia, Axel Rose, Elvis Presley atau Deddy Stanzah.

Seperti kata SRV, susah untuk mempertahankan perspektif didalam bisnis musik ini, sekali kamu kehilangan perspektif yang sebenarnya, maka tenggelam lah kamu dalam karya2 tidak bermutu, dalam obat bius, dalam Ego-Trip, dalam Nostalgia Post Power-Syndrome, etc.
Perspektif itu adalah Kebersamaan dalam merayakan Kehidupan dengan Musik, lain-lain-nya datang terakhir. Shania Twain bilang, so ? you got famous, you think you're cool, you got a big car..that don't impressed me much.

Merayakan Kehidupan dengan bermusik, itu datang duluan, sukses datang belakangan, memainkan musik yang menyentuh jiwa, itulah yang berarti, bukan-nya potongan tubuh atau style rambut. Tanpa musik yang punya arti sekelompok Superstar hanyalah merupakan Nabi-Nabi palsu yang di-propaganda-kan oleh Mass-media, di-peras dan dipergunakan sebagai komoditi oleh Korporasi Media Hiburan dengan target masyarakat yang disuguhi musik-musik yang tidak punya emosi-jiwa, yang tersisa hanyalah jiwa dan sensitifitas yang kering kerontang serta superfisial. Itu sudah merampok Seni dari tujuan dan kaidah yang sebenarnya yaitu mengisi kehidupan ini dengan emosi-jiwa yang dalam dan punya arti bagi kehidupan kita.

B.B King: Raja Musik Blues Yang Rendah Hati

Senin, 17 Maret 2014 | komentar

Beberapa hari setelah Barack Obama terpilih menjadi presiden Amerika 4 November yang lalu, saya terlibat pembicaraan ringan dengan Taufiq, sesama pemelihara blog sontoloyo ini. Pemilihan itu sangat monumental, terutama bagi warga kulit hitam Amerika. Kebetulan saya berada di Grant Park Chicago pada malam 4 November itu, malam perayaan terpilihnya Barack Obama. Di Grant Park Chicago malam itu saya menyaksikan banyak orang kulit hitam meneteskan airmata menyaksikan Barack Obama menyampaikan pidato kemenangannya. “I cannot believe it”, demikian kata dua orang wanita kulit hitam yang sudah berumur, yang berdiri di belakang saya di taman itu sambil menyeka air mata mereka. Malam itu juga saya melihat beberapa anak muda berkulit hitam memanjat sebuah tembok pendek dekat taman, melampiaskan kegembiraannya dengan berteriak-teriak lantang: “Our president is black!, Our president is black!”.

Saya dan Taufiq kemudian tersadar bahwa blog ini, hingga tanggal 4 November itu, belum pernah menampilkan pemusik berkulit hitam dengan agak panjang, kecuali cuplikan pendek di beberapa posting. Padahal saya, Taufiq, dan Rizal memiliki koleksi piringan hitam dari para pemusik hebat kulit hitam. Dalam koleksi piringan hitam saya misalnya, ada dua album penting Stevie Wonder yang berjudul Songs in the Key of Life (1976, ada dalam urutan 57 dari 500 Greatest Albums of All Time versi majalah Rolling Stone atau RS 500) dan Talking Book (1972, nomor 90 dalam RS 500), That’s the Way of the World dari kelompok Earth, Wind and Fire (1975, nomor 485 dalam list RS 500). Juga ada album salah satu penyanyi favorit saya Marvin Gaye, Let’s Get It On (1973, urutan 164 dalam RS 500).


Tidak perlu saya tulis panjang lebar bagaimana para penyanyi kulit hitam ini digemari tidak hanya oleh mereka yang berkulit hitam, tetapi oleh semua kelompok manusia. Penyanyi-penyanyi kulit hitam ini seolah membuktikan bahwa musik adalah universal, menerobos sekat-sekat yang dibuat oleh manusia. Mereka bermusik dengan passion, soulful, emotional. Mereka bermusik dengan konteks sosial yang mendalam, terkadang getir namun musik mereka mengangkat harapan dan banyak bertema the joy of life.. Kalau diingat-ingat, inilah yang menjadi dasar dari musik jazz dan blues.

Terkadang para pemusik kulit hitam legendaris ini terdengar sensual, namun jauh dari kejorokan. Yang terakhir ini contohnya adalah lagu “Let’s Get It On” dari Marvin Gaye yang sangat romantis. Saya pertama kali mendengar lagu ini dari sebuah adegan dalam film High Fidelity (film drama komedi tentang seorang pemilik toko piringan hitam, kalau Anda belum menonton maka film ini highly recommended). Di ujung film itu, Jack Black menyanyikan lagu ini dengan baik sekali (klik di sini untuk melihat lagu itu dinyanyikan oleh Jack Black, dan klik di sini untuk mendengar Marvin Gaye).

Singkatnya, kita mengenal pemusik-pemusik kulit hitam yang hebat. Maka kali ini saya ingin menulis tentang B.B King., yang disebut-sebut sebagai Raja Musik Blues. Membaca B.B. King dan mendengarkan musiknya seperti membuktikan paragraf saya diatas. Hampir semua orang yang mendengarkan B.B. King akan berkesimpulan sama, bahwa ia bermusik dengan passion, soul, joy dan yang terpenting membawa harapan. Sekali waktu Derek Truck, personil kelompok legendaries Allman Brothers Band berkomentar tentang B.B. King: “he’s the embodiment of breaking through and keeping your spirit. There’s no bitterness. When he sings, it lifts the spirit of the place” (komentar ini dikutip majalah Rolling Stone dalam edisi khususnya tentang 100 Greatest Singers of All Time – yang keluar 13 November 2008).

Kesan seperti itu juga yang saya tangkap dari album B.B. King, Live in Cook County Jail (1971) yang oleh majalah Rolling Stone ditempatkan dalam urutan 499 di RS 500 itu (seperti pernah saya tulis sebelumnya, ada perbedaan versi antara RS 500 versi majalah yang terbit 2003 dan RS 500 edisi buku yang terbit tahun 2005; di edisi majalah album ini belum masuk list). Saya merasa beruntung mendapat album yang sudah lama saya cari-cari ini, dengan harga 5 dolar saja. Minggu lalu saya bersama istri saya jalan-jalan di downtown Geneva (kota sebelah tempat saya sedang belajar ini, bukan Geneva yang di Eropa sana…hehe) dan kami menyempatkan diri mampir di sebuah toko piringan hitam di sana. Dan album ini akhirnya menjadi milik saya.

B.B. King semula adalah pemusik blues yang hingga awal tahun 1960-an hanya dikenal terbatas dikalangan warga kulit hitam. Yang berjasa memperkenalkan B.B King pada audiens anak-anak muda kulit putih dan audiens di dunia luar yang lebih luas, menariknya, adalah grup legendaris rock and roll asal Inggris, The Rolling Stones. Memang para personel The Rolling Stones, terutama Mick Jagger dan Keith Richard, adalah pencinta musik blues Amerika. Pada tahun 1969, The Rolling Stones meminta idolanya B.B. King  untuk membuka 18 konser mereka di berbagai tempat di Amerika Serikat.

Album yang saya dapat minggu lalu ini adalah rekaman dari sebuah penampilan live B.B King di depan 2117 orang kriminal yang ditahan di penjara Cook County, di Chicago pada tahun 1970. Ya, B.B. King memang beberapa kali tampil untuk menghibur para kriminal di penjara. Seperti tertera di sampul album ini, Cook County Jail adalah salah satu penjara paling brutal dan muram di negara bagian Illinois pada waktu itu (akhir tahun 1960-an). Tidak mengherankan apabila cerita yang ditulis Geoffrey Harding di sampul belakang album ini dimulai dengan kalimat: “jail, very simple, is one helluva place to be”. Cook County Jail ketika itu adalah tempat yang kelam. Obat bius, pembunuhan, perkelahian dan hukum rimba adalah hal rutin di sana tanpa ada seorang pun yang bisa mencegahnya.

Pada tahun 1968, seorang psikolog berkulit hitam bernama Winston E. Moore ditunjuk menjadi kepala penjara Cook County yang baru. Dengan susah payah ia mereformasi Cook County Jail dan akhirnya bisa menaklukan para kriminal yang sebelumnya seperti menjadi raja di dalam penjara. Musik adalah salah satu metode Winston Moore untuk meluluhkan para kriminal berhati keras dan brutal itu. Selama tahun 1970, Cook County Jail mendatangkan berbagai pemusik untuk tampil di sana. Kita amat beruntung karena Winston Moore ‘bertemu’ B.B. King dan selanjutnya kita bisa menikmati musik yang sungguh indah lewat album Live in Cook County Jail ini.

Ketika diminta tampil di penjara Cook County, B.B. King langsung mengiyakan dan hanya mengajukan satu pertanyaan: “when do you want me”? Padahal, di masa itu, B.B King sudah menjadi pemusik sangat terkenal, dikenal sebagai raja musik blues yang dikenal dengan panggilannya “chairman of the board of blues singers”. Penghuni Cook County Jail sudah pasti bergembira dan sangat tersentuh bahwa seorang pemusik legendaris mau hadir ditengah mereka.

kingbackcoverBegitulah, B.B King tampil dengan set panggung sederhana, dihadapan para kriminal yang dua tahun sebelumnya masih sangat ganas dan beringas. Bisa dilihat dari sampul belakang album ini bagaimana 2117 narapidana itu duduk manis di lapangan rumput. Konser itupun diadakan dengan pengamanan sangat minimal, Cook County Jail yakin bahwa B.B. King akan memenangkan hati para narapidana itu.

Dalam konser di Cook County Jail ini B.B. King menghibur para narapidana dengan lagu-lagu legendaris-nya, seperti “How Blue Can You Get?”, “The Thrill Is Gone”, “Please Accept My Love” dan juga sebuah lagu Medley dari “3 O’Clock Blues/Darlin’ You Know I Love You”. Lagu-lagu “How Blue Can You Get” dan “The Thrill Is Gone” dimasukan ke dalam list 100 Greatest Guitar Songs of All Time oleh majalah Rolling Stone (masing-masing di nomor 26 dan 68, lihat RS edisi June 12, 2008). Sayang sekali tidak ada rekaman video penampilan B.B. King di Cook County Jail ini, namun video B.B. King menyanyikan “The Thrill is Gone” dan “How Blue Can You Get” bisa dlihat di sini dan di sini.

Memang B.B. King menerima penghormatan darimana-mana. Musiknya dianggap mempengaruhi dan memberi inspirasi banyak orang. Ia diabadikan dalam the Blues Foundation Hall of Fame pada tahun 1984. Selanjutnya ia juga diabadikan kedalam Rock and Roll Hall of Fame di tahun 1987. Pada tahun 1990, B.B. King mendapat anugerah Songwriters Hall of Fame Lifetime Achievement Award. Ia juga mendapat gelar doktor kehormatan dari Yale University (1977), Berklee College of Music (1982), dan Brown University (2007). Memang, menurut saya, musik dan ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah dua sisi dari sebuah koin yang sama yang bernama ‘soul searching’.

Dengan seluruh pencapaiannya ini, B.B. King sebetulnya berhak untuk menjadi sombong, namun itu tidak dilakukannya. Ia dikenal sebagai orang rendah hati. Seperti ditulis oleh Geoffrey Harding dalam sampul album Live in Cook County Jail ini: “B.B. King – Cook County Jail, is a manifestation of human generosity and beauty on B.B. part, and the raw appreciation of 2117 of his most ardent fans”.

Sekali waktu saya membaca wawancara B.B. King di majalah Rolling Stone edisi khusus 100 Greatest Guitar Songs of All Time yang saya sebut sebelumnya. Dari wawancara itu saya bisa meraba bahwa B.B King adalah figur yang rendah hati.

Ini kutipan dialog RS dengan B.B. King:

RS: “When did you realize that your style was having a wide influence?”

B.B: “Well, I was watching TV one night, and the lead singer of the Beatles – John Lennon – said he wished he could play like B.B. King. I almost fell out of my chair. And that started me to thinking, “God, what am I doing?” The greatest group on Earth, and the guy is saying that to me?”

Tidak mengherankan apabila B.B. King telah menyentuh hati banyak orang yang menikmati musiknya, termasuk mereka yang berada di pojok-pojok kelam kehidupan, seperti Cook County Jail itu.

Maka saya menganggukan kepala saat membaca paragraf terakhir tulisan Geoffrey Harding di sampul belakang album Live in Cook County Jail ini:

“B.B.’s performance will forever be a memory to all of us, especially to Winston Moore who rung B.B.’s hand dry with appreciative thanks. From  2117 of your fans, thank you B.B. King, for your generosity and kindness; and most of all for not forgetting us”.

philips vermonte

link sumber: berburuvinyl.wordpress.com/2008/11/28/bb-king-raja-musik-blues-yang-rendah-hati/

Cover Story: Lorde: Sang Gadis Pemberontak

Kamis, 13 Maret 2014 | komentar

Jakarta - Sebuah lampu atau mangkuk? Ella Yelich-O’Connor ingin membelikan hadiah Natal untuk manajernya, dan itu sebabnya dia sedang berdiri dengan ekspresi kebingungan di sebuah toko desain di Herne Bay, sebuah kawasan di pinggiran Auckland, Selandia Baru, yang kental akan aroma kekayaan dan samudra.

Keduanya adalah hadiah yang bagus, tapi Ella bersikeras untuk memastikan mana yang lebih baik.

Pilihannya: sebuah mangkok perunggu berbentuk tangan dengan warna emas yang mengkilat, atau lampu meja berbentuk bola tanpa alas. “Taylor sangat bagus untuk urusan ini,” kata Ella, yang sedang memakai celana abu-abu muda dan kemeja yang tidak terlalu abu-abu. “Dia sudah lama menata rumah-rumahnya sendiri.”

Bagaimana kalau mengirim foto hadiah-hadiah itu kepadanya? “Itu ide yang bagus.” Sahabatnya, Taylor Swift, sedang berada di London yang sedang menjelang tengah malam, dan tidak langsung menjawab. Jadi setelah dipertimbangkan kembali, Ella memilih mangkuknya.

Di luar, di sebuah kafe di Jervois Road, kami diselak hampir setiap enam menit untuk permintaan tanda tangan dan foto dari warga-warga Selandia Baru sopan yang sedang menikmati cuaca musim panas. Satu bus berisi anak-anak sekolah berjaket merah berhenti di lampu lalu lintas, dan saat anak-anak itu melihat Ella, mereka semua melambaikan tangan dengan senang.

Dalam “Royals”, lagunya yang meledak di seluruh dunia, Ella mengejek kekonyolan bintang-bintang pop yang sesumbar karena menyetir mobil Maybach dan minum Cristal, dan dia juga sesumbar dalam menawarkan diri untuk menggantikan para idiot yang mendominasi Top 40: Dia bernyanyi, “You can call me Queen Bee, and baby, I’ll rule.” Kata-kata arogan bagi seorang remaja tak dikenal dari antah berantah.

“Sejak dulu saya menyukai kepercayaan diri. Contohnya, saya menamakan album saya Pure Heroine,” katanya sambil tertawa. “Bahkan nama panggung saya agak sombong atau megah.” Dia mengutip lirik dari “Dark Fantasy”-nya Kanye West (“Me found bravery in my bravado”), yang memberinya keberanian untuk mengumumkan ambisinya dalam “Royals”.

“Saya seringkali gugup, jadi saya mencoba gegabah. Cara saya berpakaian dan membawa diri, itu membuat banyak orang menganggapnya aneh atau mengintimidasi. Saya rasa seluruh karier saya dapat disimpulkan ke satu kata yang selalu saya ucapkan dalam rapat: kekuatan.”

Kini, di usia 17 tahun, dia memang menjadi Queen Bee, dengan dua piala Grammy dari empat nominasi, serta pujian yang layak didapat untuk albumnya yang cerdas dan unik. Pada hari di Oktober ketika “Royals” menduduki peringkat pertama di tangga lagu – dengan menggeser Miley Cyrus, sebuah simbolisme yang sulit untuk diabaikan – Ella sedang melakukan pemotretan di New York.

“Fotografernya terus berkata, ‘Tonjolkan pinggulmu. Coba terlihat imut. Senyum yang lebar, sekarang.’ Dan saya berkata, ‘Saya menjadi No. 1 di negara ini bukan karena saya merayu, mengedip dan sebagainya, tapi karena saya melakukan apa yang saya mau.’ Jadi, tidak, dia tidak mendapatkan senyum.” Lalu dia tersenyum.
Teleponnya berbunyi. Swift menjawab. “Oh, shit. Dia menulis, ‘Saya suka lampunya.’ Tidaaaak!”

Sebelas lagu yang berbeda menduduki peringkat pertama di tahun 2013, tapi tak ada yang menempuh jalan ganjil seperti “Royals”, yang berlawanan dengan model kaku, gagal dan berumur puluhan tahun untuk pembuatan dan pemasaran musik. Lagu-lagu hit selalu menelurkan pengikutnya, tapi perpaduan keberuntungan, ketidaksengajaan dan bakat yang dimiliki Lorde tidak dapat ditiru.

Dia merekam Pure Heroine di Selandia Baru – sebuah negara yang lebih terkenal sebagai latar kuno untuk film-film adaptasi novel Tolkien – dan menciptakan lagu-lagunya dengan produser Joel Little, yang hanya terkenal sebagai vokalis Goodnight Nurse, band Selandia Baru yang terdengar mirip Green Day. Ella dan Little – “dua pecundang tak jelas”, menurut Ella – bekerja tanpa gangguan di studio sederhana milik Little di Eastwood Tyres, Morningside, sebuah kawasan industri di Auckland. Setiap kali ada truk lewat, mereka harus berhenti merekam vokal. Mereka menciptakan album berisi lagu-lagu bijak tentang kehidupan remaja; bukan hanya seputar geng dan rasa bosan, tapi juga pola emosional spesifik yang terdapat pada generasi Ella (“It’s a new art form, showing people how little we care”).

Saat perusahaan rekamannya di Selandia Baru mendengar lagu-lagunya, mereka lepas tangan. Maka di akhir 2012 Ella mengunggah lima lagu sebagai unduhan gratis di SoundCloud, menamakan koleksi itu The Love Club EP, dan melihat penyebarannya: unduhan, komentar di blog dan pujian dari pencipta hit (Dr. Luke), orang keren (Grimes) maupun orang keren pencipta hit (Diplo). Russell Crowe dan Karl Lagerfeld – yang bisa dibilang saling bertolak belakang – mengaku menggemarinya.

Hanya dua bulan setelah “Royals” beredar di Spotify, lagu itu menduduki Viral Chart yang mengukur rasio antara share dan stream. Perusahaan rekamannya, dan bahkan stasiun-stasiun radio pop, tak punya pilihan selain ikut mendukungnya belakangan.

“Saya kira itu akan jadi sesuatu yang keren di SoundCloud, tapi ternyata menjadi sesuatu yang keren di iTunes. Dan Spotify. Dan YouTube. Dan radio Top 40,” katanya.

“Semua orang membicarakan Ella sebagai anti-Miley karena dia berpakaian seperti penyihir dan tidak joget twerk,” kata Tavi Gevinson, perempuan 17 tahun yang bertindak sebagai pendiri dan pemimpin redaksi Rookiemag.com, situs terkemuka untuk remaja perempuan yang cerdas. “Tapi dia lebih kompleks dibanding itu. Dia bukan sepenuhnya ‘gadis baik-baik’. Dia bernyanyi tentang berpesta pora, dia mengumpat dan lagu-lagunya tidak bersifat aseksual. Dia punya sisi remaja pemberontak. Orang-orang berkata, ‘Dialah teladan bagi cewek-cewek aneh.’ Tidak, banyak orang merasakan persamaan dengannya, bukan hanya orang aneh, dan itulah sebabnya dia adalah bintang pop. Dia mencerminkan kecerdasan dalam perempuan seusia kami, dan membuatnya normal. Saya sangat bahagia karena ada dia.”

Ella menggunakan Twitter, Tumblr dan Instagram untuk menceritakan opini dan rasa takutnya. Dia pernah berkicau tentang jerawat, ketakutan terhadap pekerjaan rumah, memiliki US$ 25 saja di tabungan (itu sudah lama sekali, tentu saja), kecintaannya terhadap Phil Collins. Dalam wawancara, dia menyatakan dirinya sebagai feminis, menghujat tema pasif dalam “Come & Get It”-nya Selena Gomez sebagai anti-feminis, dan membicarakan penulis-penulis hebat – Raymond Carver, Sylvia Plath – dengan cara yang menunjukkan bahwa dia memang membaca dan memahami karya mereka. Sementara musiknya menyebar, penggemar menjadi tahu bahwa dia keras kepala, bertekad dan lugas – seorang remaja yang menggigit.

Munculnya pembenci pun tak dapat dihindari. “Orang-orang tak suka gadis yang tidak senyum,” katanya sambil mengangkat bahu. Dengan rambut keritingnya yang lebat dan gelap, pakaiannya yang hitam dan abu-abu serta lipstik gelap, mudah untuk mengoloknya: seorang goth sok pintar yang cemberut, seperti perpaduan antara Zooey Glass dan Wednesday Addams. Jika tak ada lelucon bertema “Lorde adalah orang yang sengsara dan benci semua orang” di Saturday Night Live musim ini, seharusnya mereka malu.

Mereka yang hidup lewat Internet juga mati lewat Internet. Pada November lalu, seorang temannya teman memotret Lorde di pantai lokal, memakai bikini dan memeluk James Lowe, pacarnya yang berasal dari keluarga Cina. Foto itu menyebar di Facebook, Tumblr, blog dan situs gosip selebriti. “Saat dengar kabar soal foto-foto itu, saya berpikir, ‘Sekarang ada beberapa orang di Internet yang membahas bentuk pantat saya.’ ” Walau dia tahu orang-orang yang berkomentar itu biasanya adalah “tipe-tipe orang yang memakai kata ‘faggot’ untuk menghina,” dia juga “tidak sepenuhnya kebal terhadap penghinaan. Saya manusia.”

Gosip kecilnya: pacar Lorde berusia tujuh tahun lebih tua. “Saya tidak bilang padanya, ‘Ya, silakan pacaran dengan pria berumur 24 tahun,” kata ibunya, Sonja Yelich, pada saya. “Tapi saya dan ayahnya bertemu dengan James, dan kami menyukainya. Ketika Ella masih kecil, pacar pertamanya lebih tua – sekitar empat tahun.” Mengingat sifat dewasanya, akan lebih mengejutkan jika Ella berpacaran dengan seseorang yang tidak lebih tua. Dan jika Justin Bieber pacaran dengan wanita berusia 24 tahun di saat dia masih 17, orang-orang akan senyum dan memujinya.

Ketika foto itu beredar, para bully dan rasis di Twitter bergembira. Komentarnya termasuk, “Pacar Lorde mirip anak pertukaran pelajar dari Cina di film Sixteen Candles” dan “Pacarmu mirip Mao Tse Tung.” “Ucapan-ucapan yang cukup kasar,” katanya. “Itu membuat kita heran dengan manusia.” Kalau berjalan-jalan di Auckland, mudah untuk melihat bahwa ini adalah kota yang beraneka ragam dengan banyak hubungan antarras. “Itu sebabnya reaksi tersebut membuat saya begitu kaget. Orang-orang yang saya kenal takkan mempermasalahkan ini.”

Kebanyakan komentar itu berasal dari penggemar-penggemar One Direction, yang percaya (tapi keliru) bahwa Lorde menyebut grup itu “buruk rupa”. Tapi karena dia sudah berkomentar kritis tentang Gomez, produser David Guetta (“sangat menjijikkan”) dan Taylor Swift, sebelum mereka bersahabat, rumor itu tampak masuk akal. “Orang-orang di sekitar saya, yang sangat dekat dengan saya, berkata, ‘Haruskah kamu mengutarakan pendapat setiap saat?’ ” Dia tidak menyesali ucapannya sedikit pun – “Saya tahu saya benar” – dan juga tahu bahwa dia populer antara lain karena banyak orang seusianya juga merasa muak dengan musik pop. Dia tidak “membencinya”, dia mengkritiknya, dan itu adalah perbedaan yang signifikan. Bisa dibilang, dialah komentator budaya paling terkenal di dunia, semacam Judith Butler dengan Doc Martens dan Tumblr.

Dia membacakan beberapa hujatan yang sering terlihat di Instagram-nya: “Mengapa semua temanmu Cina?” “Mengapa kamu tak pernah senyum?” “Kamu tampak tua.” “Kamu berpakaian seperti nenek-nenek.” Setelah kita dijejali bintang-bintang Disney yang pirang dan mudah dimanipulasi selama 15 tahun, inilah perempuan yang lebih seperti Juno MacGuff daripada Cher Horowitz. Tapi Ella memperkirakan tren budaya remaja akan mengikuti jejaknya: “Di Tumblr, semua orang berbibir gelap dan berpakaian seperti saya. Penampilan saya menjadi semakin mainstream.”

Seorang pria kurus berkaca mata menyelak percakapan kami. “Maaf, pacar saya menyuruh saya untuk foto bersama kamu.” Ella berdiri untuk foto bersamanya, sambil menunjuk ke pramusaji yang berdiri di dekatnya dan bertanya, “Apakah ini pacarmu?”

Pria Kurus itu tampak bingung, dan saat keadaan semakin canggung, Ella meminta maaf kepadanya dua kali. “Saya orang aneh,” katanya, setelah pria itu pergi bersama fotonya. “Inilah sebab saya seharusnya tidak menjadi orang terkenal – saya mengucapkan hal-hal seperti itu.”

Kisah selengkapnya baca majalah Rolling Stone Indonesia edisi 107, Maret 2014

link sumber: rollingstone.co.id/read/2014/03/03/173008/2514019/1099/cover-story-lorde-sang-gadis-pemberontak?midcoverstory

Film Musik, Ajakan untuk Mendengar Kehidupan

Jumat, 07 Maret 2014 | komentar


Selain presiden, bos mafia, dan aktor/aktris, musisi adalah karakter yang menarik untuk diangkat menjadi sebuah film. Penonton pun ditawarkan sajian yang variatif: tragedi, sejarah, hingga sisi lain kehidupan sang seniman. Sepertinya, para filmmaker tidak akan kehabisan stok musisi yang menjanjikan untuk dijadikan cerita. Lagipula Hollywood juga selalu punya cara paten dalam mengemas film yang sesuai dengan karakter si pemeran utama –dan tentu fans-nya-.

Tentu kita tidak bisa melupakan performa gemilang Jamie Foxx saat memerankan Ray Charles dalam Ray (2004).  Bermain sebagai pianis/penyanyi tuna netra legendaris, dia memenangkan Oscar sebagai Aktor Terbaik. Filmnya pun menuai pujian dan mendapat nominasi penghargaan di mana-mana. Ray adalah salah satu film biopik musisi yang patut diapresiasi. Selain mengemas karakter dan kehidupan Ray Charles dengan baik, Ray juga mampu menghadirkan otentitas latar belakang historis.

Seperti saat Ray Charles ditolak bermain di Georgia karena dianggap memainkan musik satanis. Saat itu Ray Charles memang mengambil dasar musik Gospel dan dikembangkan dengan sentuhan Soul, Rhythm & Blues, hingga mencapai titik orgasmik: Rock n’ Roll. Atau adegan asyik lainnya seperti bagaimana Ray mendapat ide untuk bernyanyi unik dengan bersahut-sahutan bersama para penyanyi latar di lagu “What’d I Say”, atau alasan dibuatnya lagu “Georgia On My Mind”.

Entah karena latah ingin mengikuti kesuksesan film Ray, setahun kemudian muncul Walk The Line. Film yang mendapat 5 nominasi Academy Award ini menuturkan kisah hidup Johnny Cash yang seperti tidak pernah berhenti dari gejolak hingga dia mencapai hari tua.

Walk The Line diolah dengan racikan yang tidak jauh berbeda dengan Ray: linear, komplet dan sarat konflik. Kekuatannya terletak pada  “eksploitasi” karakter Johnny Cash yang egosentris dan perfeksionis hingga hanya mampu dijinakkan oleh June Carter, sang mitra abadi yang sering berduet dan akhirnya menjadi istri kedua Johnny. Film ini pun berhasil menjadikan salah satu aktris underrated Hollywood, Reese Witherspoon sebagai pemenang Oscar. Walk The Line adalah sebuah perjalanan panjang, suatu pencarian yang dilakukan seorang legenda dalam mencapai puncak kehidupan.

Bila Ray dan Walk The Line memaparkan petualangan karir pahlawan musik, Nowhere Boy (2009) berbicara dari kacamata yang sedikit berbeda. Film Inggris ini mengangkat kehidupan John Lennon saat remaja, sebelum The Beatles lahir.

Daya tariknya terletak pada apa saja yang terjadi di kehidupan John Lennon hingga bisa membuatnya siapa dia di masa depan. Peran besar ibunya yang mengajarkan bermain banjo, pertemuannya dengan Paul McCartney, hingga segala keunikan yang John miliki saat masih bersekolah.

Lain lagi dengan 24 Hour Party People, kisah tentang bagaimana post-punk terlahir di Manchester, Inggris hingga terkenal dengan nama Mad-chester. Uniknya, film ini berangkat dari perspektif Tony Wilson; presenter radio, pemilik label rekaman, dan manajer klub malam. Dia adalah tokoh yang bertanggung jawab atas lahirnya Joy Division, New Order dan Happy Mondays.

Film ini tidak menyuguhkan kehebatan seorang legenda, tragedi karir, atau perjalanan menuju puncak, tapi gambaran historis yang otentik mengenai komunitas yang merupakan cikal bakal sebuah subkultur baru. 24 Hour Party People berbicara banyak mengenai perjuangan manusia di balik layar, di mana dia bekerja keras demi karir band-band legendaris. Film yang dikemas ala dokumenter ini dapat dijadikan acuan sejarah musik Manchester dan apa yang sebenarnya terjadi di akhir 1970-an dan awal 1980-an.

Rasanya belum cukup bila membicarakan kehidupan musisi tanpa menghadirkan tragedi. Sid and Nancy (1986) menuturkan kisah cinta punk rock antara basis Sex Pistols yang iconic dan kontroversial, Sid Vicious dengan Nancy Spungen di mana Nancy tewas terbunuh di kamar mandi hotel saat bersama Sid. Selena (1997) mengangkat kehidupan Selena Quintanilla, penyanyi pop latin asal Meksiko yang secara tragis dibunuh oleh ketua fans clubnya. The Doors (1991) menceritakan tentang The Doors dan Jim Morrison yang meninggal di usia magis: 27.

Masih banyak film-film biopik musisi yang menarik untuk disimak. Saksikan kelahiran para legenda blues: Willie Dixon, Etta James, Chuck Berry, Muddy Waters dalam Cadillac Records (2008); perjuangan Eminem dalam semi-biografinya, 8 Mile (2002); keunikan 6 karakter berbeda Bob Dylan di I’m Not There (2007); atau penyanyi legendaris Perancis, Edith Piaf dalam La Vie en Rose (2007).

Musisi hebat memang tidak hanya untuk didengar, tapi mereka juga menawarkan sesuatu untuk ditonton di layar lebar. Setiap seniman memiliki keunikan yang mampu mendobrak tatanan yang telah terbangun rapi. Mungkin itu alasan kenapa kita sering tergoda untuk mengikuti kisah hidup mereka melalui film atau literatur: manusia selalu mencari jalan lain yang lebih nyata daripada realita. Film musik telah mengajak kita untuk mendengar kehidupan. [Adhikasatya Mahottama]

link sumber : uncluster.com/IN/articles/film-musik-ajakan-untuk-mendengar-kehidupan/

John Lennon : Power To People

Sabtu, 01 Maret 2014 | komentar

Tiga puluh tahun lalu, 8 Desember 1980, sebuah pistol menyalak melesatkan lima butir peluru. Hanya satu peluru yang meleset, sisanya melubangi tubuh  John Lennon. Tubuhnya terkulai, tepat di depan rumahnya di Dakota  Manhattan, New York. Tak lama berselang, dari St. Luke’s Roosevelt Hospital Center, tersiar kabar John Lennon tewas.

John Lennon tewas di pusat kota yang mengendalikan perekonomian dunia. Di New York ada Wall Streets. Bila Wall Streets oleng, tidak hanya para bankir dan pemilik transcorporation yang linglung, setiap penjuru dunia pun ikut terguncang.  Itulah sudut pandang Oliver Stone melalui sekuel film “Wall Streets : Money Never Sleeps”.

New York pun punya sisi lain. Dalam film “Gangsters of New York”, tergambarkan bagaimana para begundal menjadikan darah sebagai tinta yang menorehkan sejarah berdirinya Kota New York.

“Berhati-hatilah, John. Terlalu banyak orang sinting di negara itu,” Tariq Ali  mengingatkan John Lennon suatu hari, ketika ia hendak hijrah ke Amerika. Tariq Ali adalah seorang ahli sejarah, aktivis, dan juga jurnalis dari majalah bawah tanah Red Mole di Inggris. Hasil wawancara dan pertemanannya dengan John Lennon kemudian dibukukan dalam Memories of John Lennon, yang diedit dan kata pengantarnya oleh Yoko Ono, istri John Lennon.

John Lennon terlanjur kecewa dengan Inggris. Menurutnya, tabloid di Inggris tampak naïf dan rasis. Terutama sorotannya terhadap kehadiran Yoko Ono yang dianggap sebagai pemecah The Beatles.

Tapi, Tariq memiliki catatan lain. Yoko memberi kekuatan warna lain terhadap John Lennon. John menjadi lebih radikal  dalam artistik dan politik. Suatu hari, melalui telepon, John Lennon mengatakan kepada Tariq bahwa ia terinspirasi selama diwawancarai olehnya. John pun menyanyikan ciptaannya melalui telepon. Tariq orang pertama yang mendengar lagu ‘Power To  People’ (Power To  People pun dijadikan judul album kompilasi lagu-lagu hit John Lennon dan telah dirilis  Oktober 2010, untuk menyambut ultah John Lennon).

Setelah bersolo karir, kekhawatiran Brian Epstein – mantan manajer The Beatles – akan tabiat John, menjadi semakin nyata. Menurut Epstein, pandangan John Lennon menjadi ultra-subversif dan politis. Dalam album solo pertamanya John Lennon/Plastic Ono Band, lagu ‘God’ menegaskan bahwa hanya dirinyalah yang layak dipercayai daripada Bible, Hitler, The Beatles, Kennedy hingga Jesus. Sementara lagu lainnya, ‘Working Class Hero’ : “It is about working class individuals being processed into the middle class, into the machine,”  tutur John, dalam sebuah wawancara dengan Jann S. Wenner dari Rolling Stone Magazine (1970).

Kehadiran Yoko pun memberikan polesan feminis pada John. Simaklah, ‘Woman Is The Nigger of The World’, single yang dirilis pada 1972.  John Lennon memotret adanya sikap tunduk dan takluk kaum perempuan terhadap laki-laki melintasi seluruh budaya.

Kegundahan dan pemberontakkan John Lennon bak karaben yang memuntahkan peluru sinisme dan kritiknya ke berbagai ranah. Tidak hanya dituangkan menjadi lagu, bila perlu ia pun ikut berdemontrasi. Bulan madunya dengan Yoko menjadi ajang protes anti-perang, sebuah peristiwa yang menghebohkan, Bed-In for Peace di Belanda dan Kanada. Peristiwa lainnya, John mengembalikan Members of The Order of The British Empire (MBE) karena keterlibatan Inggris dalam perang sipil di Nigeria serta dukungan negaranya pada perang Vietnam. Dalam konteks inilah, lagu ‘Imagine’ dan ‘Give Peace a Chance’ pun menjadi anti-war anthem.

Imagine John Lennon Dead

Apa yang ditengarai Tariq Ali bahwa di Amerika banyak orang sinting pun menjadi kenyataan. “Kesintingan” itu terlihat pada Mark David Chapman, ia memuja The Beatles dan John Lennon. Bahkan perjalanan hidupnya mirip dengan John, Chapman pernah menikahi perempuan berdarah Jepang juga. Namun ketika Chapman menjadi Kristen fundamentalis, ia melihat bahwa John Lennon adalah orang yang berbahaya karena pandangannya terhadap agama dan negara

Kala lagu ‘Imagine’ mencapai puncaknya pada 1971, Chapman memparodikan lagu itu menjadi “Imagine John Lennnon Died.” Sembilan tahun kemudian, Chapman merealisasikan impiannya.

Kini, para pecinta John Lennon hanya tinggal mengenang dan juga mereflesikan pandangannya. Pada sebuah untaian mosaik sambil menatap sebuah lingkaran yang bertuliskan ‘Imagine’, di Strawberry Fields Memorial, Central Park New York.

Bahkan, ketika terjadi peristiwa pengeboman WTC (9/11/01), masyarakat pecinta damai  mengenang peristiwa itu di Strawberry Fields Memorial. Lihatlah, betapa dahsyat dampak pasca WTC. Tidak sedikit masyarakat Barat dirasuki pandangan Islam-fobia. Presiden Amerika George W. Bush menerapkan kebijakan diskriminatif di negaranya. Bush juga mengajak Negara Inggris dan lainnya untuk meluluhlantakkan Irak, dengan alasan yang tidak terbukti, Irak memiliki senjata pemusnah massal.

Peristiwa ini pun disusul maraknya demontrasi global menentang Bush-Blair ketika perang Irak terjadi. Dalam suasana seperti ini, Tariq Ali teringat akan sahabatnya John Lennon. Tariq merasakan semangat John Lennon menyertainya saat berdemonstrasi.

Ya, semangat kata-kata yang Tariq edit dari jawaban John Lennon terhadap surat terbukanya kritikus musik/pop kultur,  John Hoyland, yang mengaji dengan kritis album Revolution – The Beatles di majalah politik-budaya radikal Black Dwarf  (sebelum pecah menjadi Red Mole). Hoyland memandang bahwa album Revolution terlalu santun untuk sebuah revolusi. Dan, John Lennon pun menjawabnya :

“…. Anda kira semua musuh mengenakan lencana kapitalis sehingga Anda dapat menembaki mereka? Itu sedikit naif John……. Daripada bertengkar karena masalah kecil soal The Beatles dan The Stones – pikirkanlah hal yang lebih besar… Lihatlah pada dunia tempat kita tinggal dan tanyalah pada diri sendiri: mengapa? Lalu – datang dan bergabunglah bersama kami….”

Love,

John Lennon


source: www.uncluster.com/IN/articles/john-lennon-power-to-people/