Cover Story: Lorde: Sang Gadis Pemberontak

Kamis, 13 Maret 2014 | komentar

Jakarta - Sebuah lampu atau mangkuk? Ella Yelich-O’Connor ingin membelikan hadiah Natal untuk manajernya, dan itu sebabnya dia sedang berdiri dengan ekspresi kebingungan di sebuah toko desain di Herne Bay, sebuah kawasan di pinggiran Auckland, Selandia Baru, yang kental akan aroma kekayaan dan samudra.

Keduanya adalah hadiah yang bagus, tapi Ella bersikeras untuk memastikan mana yang lebih baik.

Pilihannya: sebuah mangkok perunggu berbentuk tangan dengan warna emas yang mengkilat, atau lampu meja berbentuk bola tanpa alas. “Taylor sangat bagus untuk urusan ini,” kata Ella, yang sedang memakai celana abu-abu muda dan kemeja yang tidak terlalu abu-abu. “Dia sudah lama menata rumah-rumahnya sendiri.”

Bagaimana kalau mengirim foto hadiah-hadiah itu kepadanya? “Itu ide yang bagus.” Sahabatnya, Taylor Swift, sedang berada di London yang sedang menjelang tengah malam, dan tidak langsung menjawab. Jadi setelah dipertimbangkan kembali, Ella memilih mangkuknya.

Di luar, di sebuah kafe di Jervois Road, kami diselak hampir setiap enam menit untuk permintaan tanda tangan dan foto dari warga-warga Selandia Baru sopan yang sedang menikmati cuaca musim panas. Satu bus berisi anak-anak sekolah berjaket merah berhenti di lampu lalu lintas, dan saat anak-anak itu melihat Ella, mereka semua melambaikan tangan dengan senang.

Dalam “Royals”, lagunya yang meledak di seluruh dunia, Ella mengejek kekonyolan bintang-bintang pop yang sesumbar karena menyetir mobil Maybach dan minum Cristal, dan dia juga sesumbar dalam menawarkan diri untuk menggantikan para idiot yang mendominasi Top 40: Dia bernyanyi, “You can call me Queen Bee, and baby, I’ll rule.” Kata-kata arogan bagi seorang remaja tak dikenal dari antah berantah.

“Sejak dulu saya menyukai kepercayaan diri. Contohnya, saya menamakan album saya Pure Heroine,” katanya sambil tertawa. “Bahkan nama panggung saya agak sombong atau megah.” Dia mengutip lirik dari “Dark Fantasy”-nya Kanye West (“Me found bravery in my bravado”), yang memberinya keberanian untuk mengumumkan ambisinya dalam “Royals”.

“Saya seringkali gugup, jadi saya mencoba gegabah. Cara saya berpakaian dan membawa diri, itu membuat banyak orang menganggapnya aneh atau mengintimidasi. Saya rasa seluruh karier saya dapat disimpulkan ke satu kata yang selalu saya ucapkan dalam rapat: kekuatan.”

Kini, di usia 17 tahun, dia memang menjadi Queen Bee, dengan dua piala Grammy dari empat nominasi, serta pujian yang layak didapat untuk albumnya yang cerdas dan unik. Pada hari di Oktober ketika “Royals” menduduki peringkat pertama di tangga lagu – dengan menggeser Miley Cyrus, sebuah simbolisme yang sulit untuk diabaikan – Ella sedang melakukan pemotretan di New York.

“Fotografernya terus berkata, ‘Tonjolkan pinggulmu. Coba terlihat imut. Senyum yang lebar, sekarang.’ Dan saya berkata, ‘Saya menjadi No. 1 di negara ini bukan karena saya merayu, mengedip dan sebagainya, tapi karena saya melakukan apa yang saya mau.’ Jadi, tidak, dia tidak mendapatkan senyum.” Lalu dia tersenyum.
Teleponnya berbunyi. Swift menjawab. “Oh, shit. Dia menulis, ‘Saya suka lampunya.’ Tidaaaak!”

Sebelas lagu yang berbeda menduduki peringkat pertama di tahun 2013, tapi tak ada yang menempuh jalan ganjil seperti “Royals”, yang berlawanan dengan model kaku, gagal dan berumur puluhan tahun untuk pembuatan dan pemasaran musik. Lagu-lagu hit selalu menelurkan pengikutnya, tapi perpaduan keberuntungan, ketidaksengajaan dan bakat yang dimiliki Lorde tidak dapat ditiru.

Dia merekam Pure Heroine di Selandia Baru – sebuah negara yang lebih terkenal sebagai latar kuno untuk film-film adaptasi novel Tolkien – dan menciptakan lagu-lagunya dengan produser Joel Little, yang hanya terkenal sebagai vokalis Goodnight Nurse, band Selandia Baru yang terdengar mirip Green Day. Ella dan Little – “dua pecundang tak jelas”, menurut Ella – bekerja tanpa gangguan di studio sederhana milik Little di Eastwood Tyres, Morningside, sebuah kawasan industri di Auckland. Setiap kali ada truk lewat, mereka harus berhenti merekam vokal. Mereka menciptakan album berisi lagu-lagu bijak tentang kehidupan remaja; bukan hanya seputar geng dan rasa bosan, tapi juga pola emosional spesifik yang terdapat pada generasi Ella (“It’s a new art form, showing people how little we care”).

Saat perusahaan rekamannya di Selandia Baru mendengar lagu-lagunya, mereka lepas tangan. Maka di akhir 2012 Ella mengunggah lima lagu sebagai unduhan gratis di SoundCloud, menamakan koleksi itu The Love Club EP, dan melihat penyebarannya: unduhan, komentar di blog dan pujian dari pencipta hit (Dr. Luke), orang keren (Grimes) maupun orang keren pencipta hit (Diplo). Russell Crowe dan Karl Lagerfeld – yang bisa dibilang saling bertolak belakang – mengaku menggemarinya.

Hanya dua bulan setelah “Royals” beredar di Spotify, lagu itu menduduki Viral Chart yang mengukur rasio antara share dan stream. Perusahaan rekamannya, dan bahkan stasiun-stasiun radio pop, tak punya pilihan selain ikut mendukungnya belakangan.

“Saya kira itu akan jadi sesuatu yang keren di SoundCloud, tapi ternyata menjadi sesuatu yang keren di iTunes. Dan Spotify. Dan YouTube. Dan radio Top 40,” katanya.

“Semua orang membicarakan Ella sebagai anti-Miley karena dia berpakaian seperti penyihir dan tidak joget twerk,” kata Tavi Gevinson, perempuan 17 tahun yang bertindak sebagai pendiri dan pemimpin redaksi Rookiemag.com, situs terkemuka untuk remaja perempuan yang cerdas. “Tapi dia lebih kompleks dibanding itu. Dia bukan sepenuhnya ‘gadis baik-baik’. Dia bernyanyi tentang berpesta pora, dia mengumpat dan lagu-lagunya tidak bersifat aseksual. Dia punya sisi remaja pemberontak. Orang-orang berkata, ‘Dialah teladan bagi cewek-cewek aneh.’ Tidak, banyak orang merasakan persamaan dengannya, bukan hanya orang aneh, dan itulah sebabnya dia adalah bintang pop. Dia mencerminkan kecerdasan dalam perempuan seusia kami, dan membuatnya normal. Saya sangat bahagia karena ada dia.”

Ella menggunakan Twitter, Tumblr dan Instagram untuk menceritakan opini dan rasa takutnya. Dia pernah berkicau tentang jerawat, ketakutan terhadap pekerjaan rumah, memiliki US$ 25 saja di tabungan (itu sudah lama sekali, tentu saja), kecintaannya terhadap Phil Collins. Dalam wawancara, dia menyatakan dirinya sebagai feminis, menghujat tema pasif dalam “Come & Get It”-nya Selena Gomez sebagai anti-feminis, dan membicarakan penulis-penulis hebat – Raymond Carver, Sylvia Plath – dengan cara yang menunjukkan bahwa dia memang membaca dan memahami karya mereka. Sementara musiknya menyebar, penggemar menjadi tahu bahwa dia keras kepala, bertekad dan lugas – seorang remaja yang menggigit.

Munculnya pembenci pun tak dapat dihindari. “Orang-orang tak suka gadis yang tidak senyum,” katanya sambil mengangkat bahu. Dengan rambut keritingnya yang lebat dan gelap, pakaiannya yang hitam dan abu-abu serta lipstik gelap, mudah untuk mengoloknya: seorang goth sok pintar yang cemberut, seperti perpaduan antara Zooey Glass dan Wednesday Addams. Jika tak ada lelucon bertema “Lorde adalah orang yang sengsara dan benci semua orang” di Saturday Night Live musim ini, seharusnya mereka malu.

Mereka yang hidup lewat Internet juga mati lewat Internet. Pada November lalu, seorang temannya teman memotret Lorde di pantai lokal, memakai bikini dan memeluk James Lowe, pacarnya yang berasal dari keluarga Cina. Foto itu menyebar di Facebook, Tumblr, blog dan situs gosip selebriti. “Saat dengar kabar soal foto-foto itu, saya berpikir, ‘Sekarang ada beberapa orang di Internet yang membahas bentuk pantat saya.’ ” Walau dia tahu orang-orang yang berkomentar itu biasanya adalah “tipe-tipe orang yang memakai kata ‘faggot’ untuk menghina,” dia juga “tidak sepenuhnya kebal terhadap penghinaan. Saya manusia.”

Gosip kecilnya: pacar Lorde berusia tujuh tahun lebih tua. “Saya tidak bilang padanya, ‘Ya, silakan pacaran dengan pria berumur 24 tahun,” kata ibunya, Sonja Yelich, pada saya. “Tapi saya dan ayahnya bertemu dengan James, dan kami menyukainya. Ketika Ella masih kecil, pacar pertamanya lebih tua – sekitar empat tahun.” Mengingat sifat dewasanya, akan lebih mengejutkan jika Ella berpacaran dengan seseorang yang tidak lebih tua. Dan jika Justin Bieber pacaran dengan wanita berusia 24 tahun di saat dia masih 17, orang-orang akan senyum dan memujinya.

Ketika foto itu beredar, para bully dan rasis di Twitter bergembira. Komentarnya termasuk, “Pacar Lorde mirip anak pertukaran pelajar dari Cina di film Sixteen Candles” dan “Pacarmu mirip Mao Tse Tung.” “Ucapan-ucapan yang cukup kasar,” katanya. “Itu membuat kita heran dengan manusia.” Kalau berjalan-jalan di Auckland, mudah untuk melihat bahwa ini adalah kota yang beraneka ragam dengan banyak hubungan antarras. “Itu sebabnya reaksi tersebut membuat saya begitu kaget. Orang-orang yang saya kenal takkan mempermasalahkan ini.”

Kebanyakan komentar itu berasal dari penggemar-penggemar One Direction, yang percaya (tapi keliru) bahwa Lorde menyebut grup itu “buruk rupa”. Tapi karena dia sudah berkomentar kritis tentang Gomez, produser David Guetta (“sangat menjijikkan”) dan Taylor Swift, sebelum mereka bersahabat, rumor itu tampak masuk akal. “Orang-orang di sekitar saya, yang sangat dekat dengan saya, berkata, ‘Haruskah kamu mengutarakan pendapat setiap saat?’ ” Dia tidak menyesali ucapannya sedikit pun – “Saya tahu saya benar” – dan juga tahu bahwa dia populer antara lain karena banyak orang seusianya juga merasa muak dengan musik pop. Dia tidak “membencinya”, dia mengkritiknya, dan itu adalah perbedaan yang signifikan. Bisa dibilang, dialah komentator budaya paling terkenal di dunia, semacam Judith Butler dengan Doc Martens dan Tumblr.

Dia membacakan beberapa hujatan yang sering terlihat di Instagram-nya: “Mengapa semua temanmu Cina?” “Mengapa kamu tak pernah senyum?” “Kamu tampak tua.” “Kamu berpakaian seperti nenek-nenek.” Setelah kita dijejali bintang-bintang Disney yang pirang dan mudah dimanipulasi selama 15 tahun, inilah perempuan yang lebih seperti Juno MacGuff daripada Cher Horowitz. Tapi Ella memperkirakan tren budaya remaja akan mengikuti jejaknya: “Di Tumblr, semua orang berbibir gelap dan berpakaian seperti saya. Penampilan saya menjadi semakin mainstream.”

Seorang pria kurus berkaca mata menyelak percakapan kami. “Maaf, pacar saya menyuruh saya untuk foto bersama kamu.” Ella berdiri untuk foto bersamanya, sambil menunjuk ke pramusaji yang berdiri di dekatnya dan bertanya, “Apakah ini pacarmu?”

Pria Kurus itu tampak bingung, dan saat keadaan semakin canggung, Ella meminta maaf kepadanya dua kali. “Saya orang aneh,” katanya, setelah pria itu pergi bersama fotonya. “Inilah sebab saya seharusnya tidak menjadi orang terkenal – saya mengucapkan hal-hal seperti itu.”

Kisah selengkapnya baca majalah Rolling Stone Indonesia edisi 107, Maret 2014

link sumber: rollingstone.co.id/read/2014/03/03/173008/2514019/1099/cover-story-lorde-sang-gadis-pemberontak?midcoverstory
Share this article :

Posting Komentar