Film Musik, Ajakan untuk Mendengar Kehidupan

Jumat, 07 Maret 2014 | komentar


Selain presiden, bos mafia, dan aktor/aktris, musisi adalah karakter yang menarik untuk diangkat menjadi sebuah film. Penonton pun ditawarkan sajian yang variatif: tragedi, sejarah, hingga sisi lain kehidupan sang seniman. Sepertinya, para filmmaker tidak akan kehabisan stok musisi yang menjanjikan untuk dijadikan cerita. Lagipula Hollywood juga selalu punya cara paten dalam mengemas film yang sesuai dengan karakter si pemeran utama –dan tentu fans-nya-.

Tentu kita tidak bisa melupakan performa gemilang Jamie Foxx saat memerankan Ray Charles dalam Ray (2004).  Bermain sebagai pianis/penyanyi tuna netra legendaris, dia memenangkan Oscar sebagai Aktor Terbaik. Filmnya pun menuai pujian dan mendapat nominasi penghargaan di mana-mana. Ray adalah salah satu film biopik musisi yang patut diapresiasi. Selain mengemas karakter dan kehidupan Ray Charles dengan baik, Ray juga mampu menghadirkan otentitas latar belakang historis.

Seperti saat Ray Charles ditolak bermain di Georgia karena dianggap memainkan musik satanis. Saat itu Ray Charles memang mengambil dasar musik Gospel dan dikembangkan dengan sentuhan Soul, Rhythm & Blues, hingga mencapai titik orgasmik: Rock n’ Roll. Atau adegan asyik lainnya seperti bagaimana Ray mendapat ide untuk bernyanyi unik dengan bersahut-sahutan bersama para penyanyi latar di lagu “What’d I Say”, atau alasan dibuatnya lagu “Georgia On My Mind”.

Entah karena latah ingin mengikuti kesuksesan film Ray, setahun kemudian muncul Walk The Line. Film yang mendapat 5 nominasi Academy Award ini menuturkan kisah hidup Johnny Cash yang seperti tidak pernah berhenti dari gejolak hingga dia mencapai hari tua.

Walk The Line diolah dengan racikan yang tidak jauh berbeda dengan Ray: linear, komplet dan sarat konflik. Kekuatannya terletak pada  “eksploitasi” karakter Johnny Cash yang egosentris dan perfeksionis hingga hanya mampu dijinakkan oleh June Carter, sang mitra abadi yang sering berduet dan akhirnya menjadi istri kedua Johnny. Film ini pun berhasil menjadikan salah satu aktris underrated Hollywood, Reese Witherspoon sebagai pemenang Oscar. Walk The Line adalah sebuah perjalanan panjang, suatu pencarian yang dilakukan seorang legenda dalam mencapai puncak kehidupan.

Bila Ray dan Walk The Line memaparkan petualangan karir pahlawan musik, Nowhere Boy (2009) berbicara dari kacamata yang sedikit berbeda. Film Inggris ini mengangkat kehidupan John Lennon saat remaja, sebelum The Beatles lahir.

Daya tariknya terletak pada apa saja yang terjadi di kehidupan John Lennon hingga bisa membuatnya siapa dia di masa depan. Peran besar ibunya yang mengajarkan bermain banjo, pertemuannya dengan Paul McCartney, hingga segala keunikan yang John miliki saat masih bersekolah.

Lain lagi dengan 24 Hour Party People, kisah tentang bagaimana post-punk terlahir di Manchester, Inggris hingga terkenal dengan nama Mad-chester. Uniknya, film ini berangkat dari perspektif Tony Wilson; presenter radio, pemilik label rekaman, dan manajer klub malam. Dia adalah tokoh yang bertanggung jawab atas lahirnya Joy Division, New Order dan Happy Mondays.

Film ini tidak menyuguhkan kehebatan seorang legenda, tragedi karir, atau perjalanan menuju puncak, tapi gambaran historis yang otentik mengenai komunitas yang merupakan cikal bakal sebuah subkultur baru. 24 Hour Party People berbicara banyak mengenai perjuangan manusia di balik layar, di mana dia bekerja keras demi karir band-band legendaris. Film yang dikemas ala dokumenter ini dapat dijadikan acuan sejarah musik Manchester dan apa yang sebenarnya terjadi di akhir 1970-an dan awal 1980-an.

Rasanya belum cukup bila membicarakan kehidupan musisi tanpa menghadirkan tragedi. Sid and Nancy (1986) menuturkan kisah cinta punk rock antara basis Sex Pistols yang iconic dan kontroversial, Sid Vicious dengan Nancy Spungen di mana Nancy tewas terbunuh di kamar mandi hotel saat bersama Sid. Selena (1997) mengangkat kehidupan Selena Quintanilla, penyanyi pop latin asal Meksiko yang secara tragis dibunuh oleh ketua fans clubnya. The Doors (1991) menceritakan tentang The Doors dan Jim Morrison yang meninggal di usia magis: 27.

Masih banyak film-film biopik musisi yang menarik untuk disimak. Saksikan kelahiran para legenda blues: Willie Dixon, Etta James, Chuck Berry, Muddy Waters dalam Cadillac Records (2008); perjuangan Eminem dalam semi-biografinya, 8 Mile (2002); keunikan 6 karakter berbeda Bob Dylan di I’m Not There (2007); atau penyanyi legendaris Perancis, Edith Piaf dalam La Vie en Rose (2007).

Musisi hebat memang tidak hanya untuk didengar, tapi mereka juga menawarkan sesuatu untuk ditonton di layar lebar. Setiap seniman memiliki keunikan yang mampu mendobrak tatanan yang telah terbangun rapi. Mungkin itu alasan kenapa kita sering tergoda untuk mengikuti kisah hidup mereka melalui film atau literatur: manusia selalu mencari jalan lain yang lebih nyata daripada realita. Film musik telah mengajak kita untuk mendengar kehidupan. [Adhikasatya Mahottama]

link sumber : uncluster.com/IN/articles/film-musik-ajakan-untuk-mendengar-kehidupan/
Share this article :

Posting Komentar