Tiga puluh tahun lalu, 8 Desember 1980, sebuah pistol menyalak melesatkan lima butir peluru. Hanya satu peluru yang meleset, sisanya melubangi tubuh  John Lennon. Tubuhnya terkulai, tepat di depan rumahnya di Dakota  Manhattan, New York. Tak lama berselang, dari St. Luke’s Roosevelt Hospital Center, tersiar kabar John Lennon tewas.
John Lennon tewas di pusat kota yang mengendalikan perekonomian dunia. Di New York ada Wall Streets. Bila Wall Streets oleng, tidak hanya para bankir dan pemilik transcorporation yang linglung, setiap penjuru dunia pun ikut terguncang.  Itulah sudut pandang Oliver Stone melalui sekuel film “Wall Streets : Money Never Sleeps”.
New York pun punya sisi lain. Dalam film “Gangsters of New York”, tergambarkan bagaimana para begundal menjadikan darah sebagai tinta yang menorehkan sejarah berdirinya Kota New York.
“Berhati-hatilah, John. Terlalu banyak orang sinting di negara itu,” Tariq Ali  mengingatkan John Lennon suatu hari, ketika ia hendak hijrah ke Amerika. Tariq Ali adalah seorang ahli sejarah, aktivis, dan juga jurnalis dari majalah bawah tanah Red Mole di Inggris. Hasil wawancara dan pertemanannya dengan John Lennon kemudian dibukukan dalam Memories of John Lennon, yang diedit dan kata pengantarnya oleh Yoko Ono, istri John Lennon.
John Lennon terlanjur kecewa dengan Inggris. Menurutnya, tabloid di Inggris tampak naïf dan rasis. Terutama sorotannya terhadap kehadiran Yoko Ono yang dianggap sebagai pemecah The Beatles.
Tapi, Tariq memiliki catatan lain. Yoko memberi kekuatan warna lain terhadap John Lennon. John menjadi lebih radikal  dalam artistik dan politik. Suatu hari, melalui telepon, John Lennon mengatakan kepada Tariq bahwa ia terinspirasi selama diwawancarai olehnya. John pun menyanyikan ciptaannya melalui telepon. Tariq orang pertama yang mendengar lagu ‘Power To  People’ (Power To  People pun dijadikan judul album kompilasi lagu-lagu hit John Lennon dan telah dirilis  Oktober 2010, untuk menyambut ultah John Lennon).
Setelah bersolo karir, kekhawatiran Brian Epstein – mantan manajer The Beatles – akan tabiat John, menjadi semakin nyata. Menurut Epstein, pandangan John Lennon menjadi ultra-subversif dan politis. Dalam album solo pertamanya John Lennon/Plastic Ono Band, lagu ‘God’ menegaskan bahwa hanya dirinyalah yang layak dipercayai daripada Bible, Hitler, The Beatles, Kennedy hingga Jesus. Sementara lagu lainnya, ‘Working Class Hero’ : “It is about working class individuals being processed into the middle class, into the machine,”  tutur John, dalam sebuah wawancara dengan Jann S. Wenner dari Rolling Stone Magazine (1970).
Kehadiran Yoko pun memberikan polesan feminis pada John. Simaklah, ‘Woman Is The Nigger of The World’, single yang dirilis pada 1972.  John Lennon memotret adanya sikap tunduk dan takluk kaum perempuan terhadap laki-laki melintasi seluruh budaya.
Kegundahan dan pemberontakkan John Lennon bak karaben yang memuntahkan peluru sinisme dan kritiknya ke berbagai ranah. Tidak hanya dituangkan menjadi lagu, bila perlu ia pun ikut berdemontrasi. Bulan madunya dengan Yoko menjadi ajang protes anti-perang, sebuah peristiwa yang menghebohkan, Bed-In for Peace di Belanda dan Kanada. Peristiwa lainnya, John mengembalikan Members of The Order of The British Empire (MBE) karena keterlibatan Inggris dalam perang sipil di Nigeria serta dukungan negaranya pada perang Vietnam. Dalam konteks inilah, lagu ‘Imagine’ dan ‘Give Peace a Chance’ pun menjadi anti-war anthem.
Imagine John Lennon Dead
Apa yang ditengarai Tariq Ali bahwa di Amerika banyak orang sinting pun menjadi kenyataan. “Kesintingan” itu terlihat pada Mark David Chapman, ia memuja The Beatles dan John Lennon. Bahkan perjalanan hidupnya mirip dengan John, Chapman pernah menikahi perempuan berdarah Jepang juga. Namun ketika Chapman menjadi Kristen fundamentalis, ia melihat bahwa John Lennon adalah orang yang berbahaya karena pandangannya terhadap agama dan negara
Kala lagu ‘Imagine’ mencapai puncaknya pada 1971, Chapman memparodikan lagu itu menjadi “Imagine John Lennnon Died.” Sembilan tahun kemudian, Chapman merealisasikan impiannya.
Kini, para pecinta John Lennon hanya tinggal mengenang dan juga mereflesikan pandangannya. Pada sebuah untaian mosaik sambil menatap sebuah lingkaran yang bertuliskan ‘Imagine’, di Strawberry Fields Memorial, Central Park New York.
Bahkan, ketika terjadi peristiwa pengeboman WTC (9/11/01), masyarakat pecinta damai  mengenang peristiwa itu di Strawberry Fields Memorial. Lihatlah, betapa dahsyat dampak pasca WTC. Tidak sedikit masyarakat Barat dirasuki pandangan Islam-fobia. Presiden Amerika George W. Bush menerapkan kebijakan diskriminatif di negaranya. Bush juga mengajak Negara Inggris dan lainnya untuk meluluhlantakkan Irak, dengan alasan yang tidak terbukti, Irak memiliki senjata pemusnah massal.
Peristiwa ini pun disusul maraknya demontrasi global menentang Bush-Blair ketika perang Irak terjadi. Dalam suasana seperti ini, Tariq Ali teringat akan sahabatnya John Lennon. Tariq merasakan semangat John Lennon menyertainya saat berdemonstrasi.
Ya, semangat kata-kata yang Tariq edit dari jawaban John Lennon terhadap surat terbukanya kritikus musik/pop kultur,  John Hoyland, yang mengaji dengan kritis album Revolution – The Beatles di majalah politik-budaya radikal Black Dwarf  (sebelum pecah menjadi Red Mole). Hoyland memandang bahwa album Revolution terlalu santun untuk sebuah revolusi. Dan, John Lennon pun menjawabnya :
“…. Anda kira semua musuh mengenakan lencana kapitalis sehingga Anda dapat menembaki mereka? Itu sedikit naif John……. Daripada bertengkar karena masalah kecil soal The Beatles dan The Stones – pikirkanlah hal yang lebih besar… Lihatlah pada dunia tempat kita tinggal dan tanyalah pada diri sendiri: mengapa? Lalu – datang dan bergabunglah bersama kami….”
Love,
John Lennon
source: www.uncluster.com/IN/articles/john-lennon-power-to-people/
MH370 Crash: 3 theories on what could have happened to MH370
11 tahun yang lalu
.jpg)
Posting Komentar